Kamis, 22 September 2011

penyelamatan alam kita

Imbauan agar mempertahankan jalur hijau yang sudah ada di sepanjang pantai, belum ditanggapi sungguh-sungguh oleh masyarakat kita. Apa perlunya? Penduduk pantai juga tidak peduli, karena daerah yang mereka huni masih luas, dan masih banyak yang belum rusak.

Jalur hijau di kota padat memang perlu dipertahankan (dan semua orang sudah mengerti) karena ia merupakan “paru-paru” yang bisa dihirup hawa segarnya bagi penduduk kota yang supersibuk sampai lupa bernapas udara segar. Mereka bisa menghirup udara bersih sedikit, dan menikmati secuil pemandangan asri di jalur hijau tengah kota ini.

Akan tetapi jalur hijau di sepanjang pantai? Tidak banyak yang mau mengerti bahwa jalur itu juga perlu dipertahankan, karena merupakan pelindung paling depan bagi kehidupan di belakang pantai berikut daratan pedalamannya. Memang tidak ada keindahan yang asri untuk dinikmati seperti jalur hijau dalam kota. Yang ada malah hanya hutan bakau (orang Inggris menyebutnya mangrove), berisi pohon api-api, tanjang, dan bakau-bakau yang jelek. Walaupun begitu, manfaatnya luar biasa.

Api-api ini pohon aneh yang tahan hidup di genangan air asin tepi pantai. Mereka mampu bernapas dengan akar tunjangnya, yang selain menunjang batang agar tidak ambruk diseret ombak berderai di tepi pantai, juga memberi perlindungan alamiah bagi berbagai makhluk hidup tepi pantai.

Ikan dan udang bertelur di tempat itu, karena anak-anak mereka yang menetas dapat menemukan makanan berupa jasad renik yang melimpah tanpa harus pergi jauh.

Bersama pohon tanjang dan bakau-bakau, api-api membentuk hutan bakau yang lebat. Dulu, hutan semacam itu dimanfaatkan betul-betul sebagai benteng terdepan pelindung negara menghadapi musuh yang datang dari laut. Dari balik dedaunan lebat, pasukan pertahanan dan keamanan dapat leluasa mengintip musuh yang mendekati pantai. Sedangkan pandangan dari laut ke arah daratan tertutup oleh dedaunan hutan yang lebat.

Karena ada manfaat langsung itulah, masyarakat kita zaman dulu secara sadar mau memelihara hutan itu agar tidak rusak, berkurang, atau digusur.

Tetapi sekarang, ketika ancaman musuh yang datang dari laut tidak ada lagi, penduduk kita biarkan merusak hutan penyelamat pantai itu tanpa kita sadari. Mereka kita biarkan menebang pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar, arang, bahan bangunan dan penyamak jala penangkap ikan.

Tetapi yang lebih celaka ialah, hutan itu kita biarkan dibabat habis oleh investor untuk dibanguni tambak pemeliharaan udang. Walaupun dalam pembangunan tambak itu Direktorat Jenderal Perikanan mengharuskan investor untuk menghijaukan kembali bekas jalur hijau pelindung pantai yang mereka gusur, tetapi banyak yang merasa tidak perlu, dan tidak diapa-apakan. Tidak ada undang-undang pelarangan yang ada sanksinya.

Kesadaran ruginya kehilangan jalur hijau tepi pantai semacam itu baru muncul ketika ombak laut sudah menggerus tanah pesisir lebih leluasa, sampai laut masuk lebih dalam ke arah pedalaman. Kita kehilangan pantai, hanya karena sebelumnya mengabaikan kelestarian hutan bakau.

Dengan hilangnya jalur hijau tepi pantai, ikan, udang dan kerang-kerangan makin sulit dicari, karena tidak ada lagi tempat berkembang biak. Produktivitas laut menurun, dan para nelayan makin sulit menangkap ikan, sehingga kita pun makin mahal membeli hidangan laut (sea food). Kalau keadaan ini dibiarkan terus, jelas makin runyam, karena biaya hidup kita makin tinggi.

Agaknya yang harus menyelamatkan jalur hijau tepi pantai bukan hanya penduduk yang sudah membabat hutan, tetapi kita semua.
Sumber: indomedia.com